Dalam observasi pendahuluan ini, beberapa rekomendasi diajukan untuk mengurangi risiko kematian pohon. Menurutnya, hal paling mendesak yang perlu dilakukan adalah: menghindari penebangan pohon yang mati, karena akan menyebabkan lahan semakin terbuka dan penguapan akan semakin meningkat, yang akan diikuti naikknya kadar garam dalam substrat; kajian detil mengenai morfologi lahan (kemiringan) dan geomorfologi (tekstur dan kadar garam substrat) perlu dilakukan; kajian floristik, struktur vegetasi dan tingkat kesehatan mangrove pada lahan yang terindikasi stress; serta penanaman artifisial jenis serupa dengan yang telah mati, bila proses regenerasi tidak berlangsung dalam jangka waktu tertentu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Satu nama yang menjadi ‘musuh’ anak perusahaan Newmont Gold Company yang bermarkas di Denver Colorado, Amerika Serikat, itu adalah Rignolda Djamaludin. Dialah aktivis yang konsisten mengadvokasi kasus pencemaran Teluk Buyat dan membantu masyarakat korban pencemaran di Buyat, kala itu.
Perusahaan membalas. Oda, sapaan akrabnya, dituding pencemaran nama baik mengakibatkan kerugian sangat besar, baik materiil, maupun imateriil bagi Newmont. Dia pun diseret ke Pengadilan Negeri Manado. Pengadilan memvonis bersalah dan harus membayar denda US$750 ribu. Begitupula di Pengadilan Tinggi. Rignolda mengajukan kasasi. Baru dia bernafas lega ketika Mahkamah Agung, memenangkan gugatannya.
Kini, Oda tetap berjuang membela masyarakat kecil terpinggirkan dan lingkungan yang teraniaya di sela aktivitas sebagai pengajar di Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Dia masih dipercaya sebagai Direktur Perkumpulan Kelola, organisasi yang konsern pada isu-isu wilayah pesisir. Dia juga dipercaya nelayan memimpin Aliansi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (Antra).
Saat ini, dia bersama nelayan tradisional di Manado, berjuang merebut kembali kedaulatan nelayan atas sumber daya pesisir dan laut. Perjuangan itu dilakukan di tengah gencarnya pembangunan Kota Manado melakukan reklamasi pantai.
Mongabay Indonesia berkesempatan mewawacarai Rignolda Djamaludin di Daseng, rumah singgah nelayan, juga sekretariat Antra Sulut. Ia berada tepat di antara deretan mal-mal di Kota Manado. Berikut petikan wawancaranya:
|
Laut yang telah dikotak-kotak demi alasan ‘pembangunan ekowisata’ di Kota Manado. Kehidupan nelayan pun makin terdesak. Foto: Christopel Paino |
Mongabay Indonesia: Saat ini, apa ancaman yang dihadapi nelayan tradisional di Sulawesi Utara, khusus di Teluk Manado?
Rignolda Djamaludin: Ancaman sangat potensial saat ini adalah rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Manado membangun jalan seberang laut, di daerah Malalayang 1 bagian barat. Di sana, ada komunitas nelayan kami yang terancam kehidupannya karena akses melaut akan ditutup.
Selain itu, yang sedang dibahas Pemkot yaitu penimbunan bagian tengah kota di daerah Titiwungan, kelurahan Wenang. Ada tempat perahu sementara bagi nelayan, tapi tidak jelas. Kemungkinan nelayan itu akan digusur. Meksipun peluang bertahan kecil, saat ini dalam proses advokasi.
Namun, yang terancam ditimbun segera itu ada di Kelurahan Sindulang I dan II, dan Kelurahan Maasing. Sekarang, semua mengarah ke sana untuk ditimbun beberapa blok. Lokasi terletak antara Pantai Bitung Karang Ria. Tiga lokasi ini terancam dimusnahkan.
Untuk daerah Malalayang I lingkungan I, kondisi masih status pra mediasi, belum dieksekusi. Di sana nelayan mengorganisir diri lagi dengan membuat Forum Nelayan Pesisir Pantai Malalayang II. Mereka membentuk forum untuk melawan dan mempertahankan pesisir pantai. Nah, kasus ini semua dalam fokus advokasi kami.
Di daerah sini (lokasi sekretariat Antra Sulut – red), juga akan ada penimbunan tidak jauh dari Daseng, tempat kami tinggal, yang merupakan bagian pembangunan Manado Town Square 3.
Mongabay Indonesia: Apakah Daseng ini juga akan tergusur, mengingat lokasi berada di tengah-tengah kota, apalagi di antara deretan mal-Mal dan hotel di Manado?
Rignolda Djamaludin: Kalau di Daseng, yang menjadi sekretariat nelayan tradisional saat ini akan kami pertahankan. Lokasi kami di Teluk Manado ini masih tergolong aman, karena berstatus hukum kuat. Tempat ini bukan karena ada izin mendirikan bangunan, tapi kami memperjuangkan lokasi ini sebagai lahan terbuka pantai, hasil mediasi dengan Komisi Nasional HAM. Di sini, lokasi cukup aman dan berstatus hukum kuat juga di Pantai Bitung Karang Ria, di Kelurahan Tuminting. Di daerah itu, jumlah nelayan lebih besar.
Mongabay Indonesia: Sejak kapan nelayan tradisional di teluk Manado ini digusur?
Rignolda Djamaludin: Proses penggusuran pertama kali terjadi di awal tahun 1980-an. Dulu rumah-rumah nelayan dipindahkan dan ada yang terpaksa harus menjual tempat. Bahkan dahulu, dari gambar, perahu-perahu nelayan ada yang naik sampai ke jalan. Lama-lama nelayan hilang, karena akses mereka melaut dihilangkan.
Dari kasus-kasus yang ada, pemerintah mengkonsepkan nelayan bisa dikompensasi, seperti ganti rugi profesi, berupa uang. Hitung-hitungan dari perahu dan alat tangkap nelayan. Ketika timbunan berjalan, entah kenapa nelayan percaya begitu saja, tidak ada perlawanan.
Pemerintah kemudian menempatkan nelayan tidak dalam posisi penting. Di era itu, nelayan ketakutan, belum lagi ada yang berpandangan tidak boleh melawan apa kata pemerintah. Ya, memang berat perjuangan nelayan bertahan hidup.
Akhirnya, nelayan bagian tengah Teluk Manado ini hilang. Wilayah pesisir ditimbun dan dibikin jalan. Pemerintah lalu mengalih profesikan mereka, dan berasumsi kalau ada mal, kan bisa bekerja di mal. Ada juga nelayan meski digusur tetap mencari ikan di tempat lain.
Mongabay Indonesia: Bagaimana perhatian pemerintah terhadap nelayan?
Rignolda Djamaludin: Pemerintah memandang sektor perikanan dan kelautan sebagai hal tidak strategis secara ekonomi. Posisi nelayan terus dilemahkan, antara lain soal penutupan akses melaut tadi. Di mana-mana pemerintah tidak pernah memberitahukan kepada masyarakat dasar mereka melakukan penimbunan. Selalu alasan hanya ada perjanjian kerja sama (PKS) dengan pengusaha.
Seperti sekarang, pada pembangunan Manado Town Square 3. Hanya karena soal perjanjian kerja sama tadi, pemerintah dan investor gagal melihat pantai dan laut sebagai aset. Posisi nelayan terus melemah.
|
Rigolda Djamaludin, yang gigih bersama nelayan memperjuangkan hak dan wilayah hidup nelayan yang tergusur. Foto: Sapariah Saturi |
Mongabay Indonesia: Bagaimana posisi Antra melihat persoalan ini?
Rignolda Djamaludin: Sekedar diketahui, Antra itu berdiri tahun 2010, lalu disepakati banyak hal. Antara lain, bagi wilayah yang sudah terampas direbut kembali, yang belum, dipertahankan, dan sementara berproses harus diambil.
Sebenarnya, kami melihat kalau dalam bahasa HAM, telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara luar biasa terhadap nelayan. Kenapa? Ya, karena profesi orang dirampas begitu saja, kemudian secara sistematis profesi tadi dilemahkan.
Di Antra, ada beberapa nelayan ditangkap aparat karena melakukan perlawanan. Seperti di Malalayang, pada Mei 2012. Ketika itu, penimbunan diprotes nelayan dan sempat bentrok dengan preman dan aparat. Nelayan ditangkap, dipukul, termasuk saya.
Bagi nelayan tradisional di sini sudah hal biasa bolak-balik penjara. Saya pun sering diperiksa polisi. Kami sudah tak bisa menghitung lagi berapa kali bolak-balik kantor polisi. Tapi kalau mau menangkap nelayan, aparat itu harus berhadapan dengan organisasi.
Dalam konteks perlawanan ini, saya kira bukan hanya pengembang yang hebat, tetapi aparatur kita juga bobrok. Mereka terlalu mudah dimanfaatkan. Padahal kita punya Peraturan Daerah nomor 38 tahun 2003 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat. Isinya, setiap pembangunan di wilayah pesisir itu harus diberitahukan kepada masyarakat dan mendapatkan izin masyarakat. Namun, Peraturan Daerah itu pun diacuhkan. Tidak mungkin masyarakat dilibatkan, masyarakat itu hanya obyek.
Menghadapi keputusan model begitu, syaratnya perlawanan dan advokasi. Itu harus dikawal, meski kemudian nelayan dianggap pembuat masalah, padahal mereka korban. Proses ke arah sana tidaklah mudah, apalagi tidak mendapatkan dukungan dari publik Manado.
Nelayan bergerak sendiri karena kebijakan pemerintah tadi oleh publik dipandang sebagai kebenaran. Hebat, dan wah.
Mongabay Indonesia: Bagaimana dengan pendekatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) terhadap nelayan tradisional?
Rignolda Djamaludin: DKP sendiri harus memiliki peran sebagai penguatan kepada nelayan, malah sebaliknya. DKP menggunakan pendekatan kelompok nelayan hanya untuk bantuan. Mereka (DKP), mengeluarkan data jumlah nelayan tradisional berdasarkan kelompok bentukan. Baru-baru ini, data DKP, kelompok nelayan ada 182. Itu artinya ada 1.820 orang nelayan di Teluk Manado. Kalau dihitung-hitung jumlah itu sangat banyak, dan tumpang tindih. Hanya karena ada bantuan, jumlah menjadi banyak.
Nah, hasil evaluasi kami, uang yang turun dari DKP dengan membentuk kelompok-kelompok tadi, tanpa disadari oleh nelayan sendiri itu melemahkan posisi mereka. Ini menjadikan nelayan sebagai pengemis. Karena meminta uang bikin kelompok. Kami juga mau minta kepada DKP agar menunjukkan mana saja jumlah yang diklaim 182 kelompok. Itu tidak mungkin menurut kami.
DKP juga merusak proses pengorganisasian nelayan, mereka menghancurkan dengan memberikan bantuan. Itu pelemahan sistematis lewat bantuan. Akhirnya benang merah, adalah organisasi harus lebih baik. Satu persatu dilakukan advokasi. Jadi, organisasi menjadi penting bagi nelayan tradisional.
Mongabay Indonesia: Berapa jumlah nelayan tradisional yang menjadi anggota Antra?
Rignolda Djamaludin: Untuk Antra anggota mencapai 582 nelayan tradisional. Nelayan di Antra itu sukarela, karena nelayan mau dipandang sebagai profesi. Tidak seperti DKP, hanya ada bantuan, tiba-tiba nelayan bertambah.
Mongabay Indonesia: Manado memiliki semboyan sebagai kota Ekowisata. Bagaimana mana Anda melihat semboyan ini?
Rignolda Djamaludin: Untuk ekowisata sendiri, saya tidak tahu pemerintah meletakkan di mana. Karena pemerintahan sebelumnya, juga mengatakan Manado menuju kota wisata dunia 2010. Ini sudah 2013, dan periode sekarang tinggal dua tahun lagi. Entah di mana ekowisatanya.
Ekowisata sendiri konsepnya bicara lebih ke jasa lingkungan wisata, seperti wisata bahari. Kami saja yang setiap hari di sini kumpul, sampah itu berton-ton. Laut betul-betul tidak dihargai. Jadi saya juga bingung, ekowisata di mana? Saya rasa ekowisata dalam semboyan pemerintah itu salah kata, atau berpura-pura salah, atau latah aja.
Wisatawan saja kalau jalan di jalan, ada yang jatuh dilubang. Menurut saya, kalau ada wisatawan yang datang ke sini, berarti itu kecelakaan, dalam arti sudah terlanjur datang. Lah, jembatan saja disebut ekowisata. Manado itu pantasnya jadi kota event. Karena masyarakat senang dengan event, entah yang level nasional maupun internasional. Itu disebut pembangunan kemajuan.
Kami juga tidak melihat arah pembangunan jelas untuk laut. Laut justru menjadi sesuatu, yang kalau masih boleh ditimbun, ya timbun. Jangan-jangan ini memang ketidaktahuan pengelola pemerintahan ini atau ketidakmampuan mengelola sumber daya, atau di situ ada permainan uang.
|
Plang Antra, yang tertancap kokoh, di samping kiri-kanan plang itu dinding seng menutup akses ke laut karena dalam proses pembangunan. Foto: Sapariah Saturi |
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mongabay-Indonesia, situs web tentang ilmu lingkungan yang populer dan berita konservasi
31 Agustus 2013 11:56 pm
KEK
Bitung Berpotensi Rusak Lingkungan dan Sengsarakan Warga
Pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) Bitung berpotensi merusak
lingkungan dan menimbulkan masalah bagi warga. Terlebih, pembangunan
ini bagian dari masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi
Indonesia (MP3EI).
Afif Kaumbo, staf bidang riset perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber
Daya Alam (Kelola) mengatakan, mereka melakukan kajian awal tentang
pembangunan ekonomi Indonesia dan menemukan konsep ambisius bernama
MP3EI. Ia muncul lewat Peraturan Presiden nomor 32 tahun 2011.
Konsep pembangunan dalam Perpres ini cenderung berpihak pada
investor, dan berpotensi membatasi publik mengakses sumber daya alam.
MP3EI, memberikan peluang besar bagi investor menguasai lahan yang
selama ini dimanfaatkan bagi kepentingan umum.
“Dalam MP3EI, pemerintah memberi banyak kemudahan bagi investor di
berbagai tempat di Indonesia. Sejumlah peraturan yang mempersulit
penanaman modal akan dihapus atau digantikan peraturan baru,” katanya
akhir Juli 2013.
Sulut, sebagai kawasan yang masuk koridor ekonomi Sulawesi, wajib
mendukung MP3EI dengan KEK Bitung sebagai prioritas. Hal ini, yang
menyebabkan pemerintah Sulut mengupayakan infrastruktur memadai, seperti
jalan tol dan reklamasi kawasan Tanjung Merah.“Pembuatan jalan tol akan
berdampak pada pembebasan lahan publik.”
Dia mengatakan, reklamasi di Tanjung Merah, akan berdampak pada
pelanggaran hak hidup masyarakat, khusus yang tinggal di daerah pesisir.
Dia mencontohkan, reklamasi di Kota Manado. Nelayan yang tinggal di
daerah pesisir digusur dari tempat tinggal semula diganti pusat
perbelanjaan.
Reklamasi ini, tak ubahnya pembangunan berbasis privatisasi SDA. Laut
dan tanah yang bisa diakses publik diperuntukkan bagi sekelompok orang
berduit. Konsep yang terfokus pada pembangunan ekonomi makro ini, akan
menggusur industri kecil-menengah.
“Ibaratnya, siapa yang punya uang, siapa yang tidak. Selama ini
kemajuan pembangunan ekonomi Indonesia selalu dinilai dari
bangunan-bangunan besar,” ucap Afif.
Saat ini, pemerintah Sulawesi Utara (Sulut) gencar mengupayakan
penyediaan infrastruktur mendukung KEK Bitung, seperti pembebasan lahan
untuk jalan tol Manado-Minahasa Utara-Bitung, sampai penyediaan 1.000
hektar lahan untuk reklamasi di Tanjung Merah.
Pemprov Sulut, sudah mengadakan rapat evaluasi merespon keputusan
pemerintah pusat, pada 29 Juli 2013. Rapat di ruang Huyula kantor
Gubernur Sulut itu, dihadiri enam kepala daerah. Hasilnya, upaya
mempercepat realisasi KEK Bitung, dengan mengurangi permasalahan terkait
infrastruktur.
Bappeda Sulut pun memastikan pembangunan KEK Bitung sudah melalui
berbagai kajian. Herman Koessoy, Kepala Perencanaan Wilayah Bappeda
Sulut mengatakan, pembangunan KEK Bitung pemerintah daerah telah
melakukan analisis baik sosial, ekonomi hingga lingkungan. Hingga, tak
akan menimbulkan dampak negatif bagi publik.
Menurut dia, rencana mereklamasi Tanjung Merah sudah sesuai disain.
Dalam disain itu, sejumlah fasilitas pendukung pelabuhan internasional
akan dibangun di atas daratan baru. Setidaknya, ada beberapa pembangunan
di sana, seperti Main Line Operator (MLO) atau kantor pengelola pelabuhan internasional, fasilitas pendukung MLO, fasilitas tambahan untuk KEK hingga maintanance, misal, instalasi pengolahan limbah.
Herman menambahkan, sejumlah studi kelayakan yang dibuat menunjukkan
tidak ada masalah serius dengan reklamasi di daerah itu.“Reklamasi di
Bitung sesuai Perpres 122 tahun 2012. Kawasan Tanjung Merah tidak
memiliki biota laut bagus karena arus air di daerah ini kuat,” katanya
kepada Mongabay 27 Agustus 2013.
Sampai kini, pembebasan lahan sudah 760 ribu meter dari total
kebutuhan lahan 1.000.000. Pemerintah Sulut menargetkan hingga Oktober
pembebasan lahan ini bisa rampung. Lahan ini akan dibangun jalan tol
sebagai fasilitas penunjang di luar KEK. “Jalan itu sebagai jalur lintas
container dari dan menuju KEK.”
Pada 22 Agustus 2013, Pemerintah Sulut membahas rencana aksi bersama
Dewan KEK Nasional. “Akhir Oktober akan lelang tender internasional.
Begitu tender selesai, kami harapkan Januari 2014 sudah groundbreaking.”
Source:
http://www.mongabay.co.id/2013/08/31/kek-bitung-berpotensi-rusak-lingkungan-dan-sengsarakan-warga/
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
The Jakarta Post
Rignolda Djamaluddin: Fighting for fishermen
Syamsul Huda M. Suhari, The Jakarta Post, Manado | People | Thu, September 12 2013, 12:51 PM
A
middle aged man was repairing a boat while putting a bottle of glue, a saw, a
hammer and nails on a stone. Clad in a sleeveless jersey and shorts as his hair
was blown by a gentle breeze, at first glance the man looked like an ordinary
fisherman.
The man
is Rignolda Djamaluddin, a lecturer at the School of Fishery and Marine
Science, Sam Ratulangi, Manado, North Sulawesi, commonly referred to as
Mijnheer Oda. Mijnheer , a Dutch word meaning Mister (Mr.), is used by local
people to address a male teacher.
But the
holder of a doctorate from the University of Queensland, Australia, is better
known as an environmental activist. His high academic degree in no way limits
his activity to a routine of delivering lectures indoors.
Directly
involved in fieldwork while allowing his skin to get scorched in the sun,
Mijnheer Oda mingles closely with coastal community members, particularly those
whose lives are threatened by various forms of environmental destruction.
He rose
to fame during the case of sea contamination in Buyat Bay, Minahasa, North
Sulawesi, in 2004. Oda was one of the few environmental activists consistently
conducting advocacy and opposing PT Newmont Minahasa Raya, a mining company
that was alleged to have caused pollution in the bay, followed by the death of
several residents due to an unidentified disease.
This
case led to the trial of Oda, in which the subsidiary of Newmont Gold Company
accused him of defamation, which led to big losses for the company. The managing
director of an environmental non-governmental organization in North Sulawesi
was found guilty and subsequently subjected to a fine worth US$750,000. The
Supreme Court, however, granted his appeal and the gold mining firm finally had
to close down.
Now Oda
spends most of his days in a house on stilts with a thatched roof, standing
solidly in the coastal zone of Manado City. The place is known by the name of
Daseng Panglima. Daseng is the local term for the fishermen’s transit and
meeting area, while panglima is the old name of the coast in Manado.
For
Oda, Daseng Panglima is not a mere place of passage, but rather a base of
traditional fishermen’s resistance against arbitrary power. It happened in
2009, when the Manado city government reclaimed the coast to boost the regional
economy.
Oda was
motivated when local fishermen complained about the matter. They were almost
helpless as the shore and the adjacent sea, where they earned their living,
were being converted into a shopping center.
Along
with some activists, Mijnheer Oda again launched an advocacy initiative,
assisting fishermen in voicing their rejection. “There were many sad stories,
as fishermen’s mooring ropes were often cut by security personel, as well as
being driven away on top of the internal conflict between them regarding the
reclamation,” he related.
Oda and
local fishermen were also soliciting public support by raising the issue of
flood threats that could have been a result from the reclamation, while
demanding an open space to be retained as a conversion-free area accessible by
fishermen.
The
outcome was the area of Daseng Panglima, the only open space left amid the rows
of malls and supermarkets. “This area is part of the spatial layout of the open
space reserved as a free zone for fishermen,” Oda pointed out.
Legally,
the area that is almost completely surrounded by shopping centers was properly
validated as a place for fishermen through its registration with the district
court in 2010 and has since been under the protection of the National Human
Rights Commission.
“Behind
the coastal reclamation carried out by the city administration, there have been
rights violations affecting traditional fishermen,” he noted. Therefore, Oda
also questioned the slogan, “Manado, Ecotourism City”, so far communicated by
the government as a regional identity.
“Up to
this point the problem of waste polluting the marine park of Bunaken hasn’t
been solved yet, while reclamation in various places continues without heeding
the fate of fishermen despite Manado’s coastal city status,” he said.
Instead
of treating the sea as a vital asset for the future, according to him, the city
administration is causing damage to the marine ecosystem for the sake of
economic growth targets. In his view, the reclamation policy tends to favor a
handful of investors and those who possess capital.
In
Daseng Panglima, fishermen are continuously being guided in order to improve
their living conditions. They have also formed the Association of North
Sulawesi Traditional Fishermen (ANTRA), with more than 5,000 members from nearly
all parts of the province.
In the
association, fishermen are provided with different kinds of knowledge including
methods of self advocacy in the face of eviction threats and how to manage the
marine ecosystem in a sustainable manner.
Besides,
fishermen also learn to maintain their independent economy among others by
setting up a credit-savings cooperative. Although Oda has a major role in
improving the life of local fishermen, he avoids the position of a central
leading figure among them.
“I’ve
tried to avoid it from the beginning. An organization should grow strong as a
result of its members’ mutual effort and sense of belonging,” explained
Mijnheer Oda, hoping that the knowledge already gained by the fishermen would
serve as an asset to strengthen their position and eventually help them to
become self-reliant.
Source:
http://www.thejakartapost.com/news/2013/09/12/rignolda-djamaluddin-fighting-fishermen.html
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mongabay-Indonesia, situs web tentang ilmu lingkungan yang populer dan berita konservasi
22 September 2013 6:50 am
Tak Hanya Lemah Awasi Tambang, Pemerintah Juga Langgar Aturan Sendiri
|
Warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara menolak tambang. Jumat(17/8/12).
Perusahaan tambang PT. Mikgro Metal Perdana (MMP) asal China,
menggunakan kapal perang berlambang Garuda bernama KRI Nusa Utara
bernomor 584. Kapal ini mengantar peralatan PT. MMP ke pantai di Desa
Kahuku Likupang Kabupaten Minahasa Utara. Kapal ini merapat tepat pada
hari kemerdekaan RI.Kemerdekaan negeri ini dirayakan oleh aparatnya
dengan menakut-nakuti warga. Foto: Jatam |
Pengawasan
pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi dinilai
lemah. Bahkan, demi memuluskan investasi tambang, pemerintah baik pusat maupun
daerah, tak jarang rela melanggar aturan yang mereka buat. Akibatnya, kerugian
menjadi tanggungan masyarakat, mulai dampak ekonomi, kerusakan lingkungan,
hingga perampasan ruang publik. Demikian terungkap dalam seminar “Mengupas dan
Mencari Solusi Permasalahan Pertambangan di Sulawesi Utara,”di Manado, Kamis
(19/09/2013).
Rignolda Djamaluddin, Direktur Perkumpulan
Kelola mengatakan, pengawasan lemah ini terus terjadi dari tahun ke tahun,
seakan tak ada evaluasi dari pemerintah daerah (pemda). Kondisi ini menimbulkan
anggapan pemda gagal mengelola tambang di wilayah mereka. Dari pengamatan
di lapangan pun, lembaga-lembaga pemerintahan daerah tampak tak serius
menyikapi persoalan lingkungan di Sulut.
Sebenarnya, pengelolaan tambang semestinya tak
menjadi racun. Kenyataan, limbah buangan tambang menyebabkan lingkungan
tercemar, membunuh ikan dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar yang
berinteraksi dengan air dan laut.
Dia mencontohkan, kasus pertambangan di Buyat,
yang sempat heboh pada 2004. Bersama sejumlah ahli medis, Rignolda
menginvestigasi daerah itu. Hasilnya, kandungan racun arsenik mencemari
lingkungan, diduga menimbulkan penyakit minamata pada warga sekitar.
Dampak buruk pertambangan di sejumlah daerah di
Sulawesi Utara (Sulut) muncul lewat perampasan ruang publik dan kerugian
ekonomi bagi masyarakat sekitar pertambangan. “Kalau nelayan dan petani digusur
untuk keperluan tambang, sedang izin usaha pertambangan hanya beberapa tahun,
apalagi yang tersisa untuk masyarakat?”
Rignolda berharap, pemerintah lebih berani
mengambil sikap dan mengkaji untuk menjawab laporan pencemaran lingkungan. “Saya
sering kehabisan pulsa untuk membuat laporan ke Badan Lingkungan Hidup, baik
kota maupun provinsi, tapi tindakan mereka tidak terlihat. Kalau memang tidak
bisa mengawasi lingkungan secara maksimal, lebih baik BLH dibubarkan saja.”
Dia tak yakin perusahaan tambang di Indonesia,
maupun Sulut, mampu meningkatkan pendapatan ekonomi daerah. Lewat dokumen
presentasi Gubernur Sulut pada Menteri Pekerjaan Umum di Jakarta, tahun 2008,
kontribusi lapangan usaha pertambangan tiap tahun sangat kecil dibandingkan pertanian,
perdagangan, hotel dan restoran, serta jasa-jasa lain.
Dalam dokumen ini, tercatat penolakan Gubernur
Sulut, pada 2007, atas pertambangan PT. Meares Soputan Mining (MSM) di Toka
Tindung, Minahasa Utara. Alasan ini berasal dari penilaian, aktivitas
pertambangan mendapat penolakan masyarakat sekitar, teknologi pengolahan limbah
belum dapat menjamin perlindungan lingkungan dan masyarakat, serta bertentangan
dengan rencana tata ruang provinsi.“Tapi saya terkejut karena keputusan tadi
berubah dalam kurun waktu tiga tahun belakangan.”
Rignolda menilai, kegagalan pemerintah mengelola
tambang berawal dari kemudahan izin usaha pertambangan (IUP) kepada pengusaha.
Seharusnya, serangkaian prosedur ketat dan serius mesti dilalui agar tak ada
satupun pihak menerima kerugian.
Dia mendorong, masyarakat gencar mengawal
isu-isu lingkungan dan tak hanya menelan informasi sepihak. Sebab, jika
permasalahan lingkungan tidak diseriusi dampaknya akan diterima masyarakat
luas. “Lingkungan tidak bisa membela diri, karena itu kita harus membela.”
Dalam seminar itu,
terungkap sekitar 160 perusahaan tersebar di Sulut memperoleh IUP, dan empat
perusahaan lain telah menandatangani kontrak karya. Data itu, bisa menjadi
indikator kemudahan izin pemerintah kepada pengusaha.“Lihat saja setengah
wilayah Pulau Sangihe sudah jadi sasaran tambang.”
|
Tambang yang membabat hutan di Cagar Alam Morowali. Negeri ini bisa
dikatakan surga bagi investor karena bisa menguras sumber daya alam
semuanya meskipun sampai merusak alam. Hebatnya, minim sekali penegakan
hukum. Foto: Jatam Sulteng |
Tanggapan serupa diutarakan Maria Taramen, Ketua
Tunas Hijau. Dia menilai pemerintah tidak mengawasi maksimal terhadap
pertambangan di Sulut. Pemerintah, malah lebih banyak berpihak pada perusahaan
dibanding masyarakat yang terkena dampak aktivitas itu.
Maria melihat, ada perlindungan kepada pengusaha
tambang ketika konflik terjadi di lapangan. Lembaga negara sekelas Brimob pun,
menjadi pelindung investor saat berhadapan dengan masyarakat. “Seharusnya
pemerintah daerah mewakili kepentingan masyarakat, bukan memberi banyak
kemudahan bagi pengusaha.”
Perusahaan tambang yang kedapatan melanggar
peraturan pun diberi perlindungan hukum. Contoh, terjadi di Pulau Bangka.
Sebagai pulau kecil, seharusnya Bangka mendapat perlindungan UU, dan tak
layak menjadi lokasi pertambangan. Aturan memperuntukkan Pulau Bangka, sebagai
daerah pariwisata, perlindungan untuk biota laut dan terumbu karang hingga
penahan tsunami. “Tapi, toh, sejumlah peraturan tadi dilanggar dan
pemerintah memberi perlindungan pada investor. Tindakan ini pelecehan terhadap
hukum di negara ini.”
Marly Dumala, Kabid Pertambangan Umum,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulut ikut berpartisipasi
dalam seminar pertambangan ini. Menurut dia, pemerintah berusaha maksimal
mengawal keluhan masyarakat mengenai pertambangan. Dia menolak tudingan kepada
pemerintah daerah. Publik diminta tak tergesa-gesa melayangkan penilaian,
seperti klaim keberpihakan pemerintah kepada pengusaha tambang di Sulut.
Apalagi, menganggap pemerintah membiarkan perusakan lingkungan.
Sejauh ini, katanya,
pemerintah daerah telah mengawasi lingkungan sesuai peraturan, termasuk
aktivitas pertambangan. Namun, dia berharap semua pihak terus bekerja-sama
dalam memberi informasi terkait permasalahan lingkungan di Sulut.
Source:
0 komentar:
Post a Comment