Penulis: Allan Tamengge
Ristam Jikoan dan Karya Lukisnya (Foto: Allan Tamengge) |
Jika ada nelayan yang
melukiskan sesuatu yang dilihatnya, maka orang itu adalah Ristam Djikoan, biasa
disapa Otang. Jika cuaca sedang tidak baik, kecintaan pada laut sering
dicurahkan dalam selembar kanvas.
Hobi
melukis sudah tertanam sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Sejak Otan masih
‘bau kencur’. Bapaknya, yang juga ahli lukis, memberi banyak insiparasi. Secara
tidak langsung, Otang jatuh cinta pada seni lukis lewat bapaknya.
Sewaktu
kecil, Otang sering menyaksikan sang bapak mencorat-coret kanvas. Ia ingat,
sang bapak pula yang mengajarinya cara melukis. “Bapak adalah pelukis favorit
saya, karena beliau yang menjadi pedoman untuk saya melukis.”
Entah
sudah berapa ratus karya lukis berhasil dibuat, yang jelas, dari sekian banyak
fenomena di alam semesta, melukis dunia bawah laut menjadi favorit. Alasannya,
cukup sederhana, Otang adalah seorang yang lahir dan besar di pesisir.
Interaksi sosial dan pengalaman hidup selalu bisa menjadi donatur inspirasi
yang baik untuk lukisannya. Bahkan, pemandangan bawah laut diangganya sebagai
ekstasi.
“Saya
sangat senang menyelam, melihat terumbu karang dan ikan-ikan yang hidup di
dasar laut. Pemandangan itu membuat pikiran saya menjadi tenang,” kata nelayan
yang berasal dari desa Tambala, Kecamatan Tombariri, Minahasa.
Dari
penjelasannya, saya bisa menerjemahkan kalimat demi kalimat sebagai sebuah
semangat yang utuh. Ia begitu bangga punya laut yang indah. Otang merasa
terhormat menjadi nelayan yang bisa melukiskan sesuatu yang dilihatnya. Sesuatu
yang begitu dekat dengan pengalaman hidupnya.
Tak
lama kemudian, ia mengambil tiga lembar kanvas yang tak lagi didominasi warna
putih. Gambar yang menempel di dalamnya, bisa dibilang setingkat dengan karya
pelukis-pelukis kawakan di Indonesia. Barangkali, yang jadi beda hanyalah
lukisan itu untuk konsumsi pribadi.
Melihat
karya Otang, pikiran saya langsung tertuju pada ‘Bikkini Bottom’ kota dalam
serial SpongeBob SquarePants – film
kartun yang menceritakan kehidupan bawah laut, dan yang mendapat respon cukup
besar di Indonesia.
Warna
biru pada kanvas, saya pikir, punya dosis yang tepat untuk menggambarkan
ekosistem laut. Sehingga, bisa dibilang, Otang
mampu menerjemahkan dengan baik ekspresi ikan, gurita, terumbu
karang, juga lekuk tubuh rumput laut.
Otong
sendiri, tidak terlampau retoris soal tiga lukisan dalam kanvas tadi. Kepada
saya, dijelaskan bahwa suasana dan keindahan laut menjadi faktor dominan
menginspirasi Otang dalam berkarya. Itu saja.
Karya Lukis Ristam Jikoan (Foto: Allan Tamengge) |
Hebatnya,
meski punya kemampuan melukis di atas rata-rata, Otang tidak pernah berniat
menjadi pelukis profesional. Ia melukis hanya jika ada orang yang meminta
jasanya. Tak ada pemasaran. Tak pernah juga sibuk-sibuk mengiklankan bakat
melukisnya.
“Saya
melukis karena itu hobi dari kecil, bukan profesi. Nelayan adalah profesi saya
dan tidak akan pernah saya ubah.”
“Tapi,
tidak bisa juga dibilang tidak dijual. Sebab, saya pernah dibayar untuk membuat lukisan di
dinding-dinding café dan tempat-tempat hiburan lainnya, sewaktu merantau ke
pulau Jawa dan Batam.”
Otang
begitu bangga menjadi nelayan, dan dengan alasan apapun, tak ingin meninggalkan
profesi tersebut. Lelaki kelahiran Bitung, 9 Desember 1960 ini, ‘resmi’ menjadi
nelayan sejak usianya baru 18 tahun. Dari orang tuanya, ia banyak mengenali
lokasi tangkap, cara mendapatkan ikan hingga cara membaca cuaca. Dari orang
tuanya, Otang belajar cara hidup bernelayan.
Bapak
tiga orang anak ini, sangat mencintai profesinya sebagai nelayan, meski
terkadang tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Pendapatannya bergantung oras (cuaca). “Kalau laut lagi bagus, ya, pendapatan saya ikut bagus.Tetapi
kalau laut sedang tidak bagus, maka pendapatan saya tidak bagus juga,” ucap
Otang.
“Tak
banyak yang bisa dilakukan ketika cuaca buruk. Saya hanya bisa berharap keadaan
laut segera membaik agar dapat kembali melaut.”
Untungnya,
sang istri bisa menggantikan posisi Otang ketika cuaca sedang tidak baik.
Sebagai pengumpul, pendamping hidupnya, kerap menjual ikan hingga ke daerah
pegunungan, seperti Woloan, Lemoh, Lolah dan Ranotongkor. Hasil jual ikan itu,
kemudian, digunakan untuk makan sekeluarga.
"Mar
alhamdulilah kita pe anak so ada yang kerja, jadi so berkurang tu tanggungan
keluarga," (Alhamdulilah anak saya sudah ada yang kerja, jadi tanggungan
keluarga sudah semakin berkurang).”
Untuk
bisa pergi melaut, ia harus mengemudikan perahu gayung atau londe. Sedangkan, alat tangkap yang
sering digunakannya adalah gogoloko (pancing
senar), sibu-sibu (serok) dan soma dampar (pukat pantai).
Dengan
alat tangkap tersebut, Otang biasa mencari ikan goropa (kerapu), ikan baramundi
(somasi), ikan baramia (pondok)
dan ikan putih (teri). Dinilai,
dengan alat tangkap sederhana, ikan-ikan yang ruang hidupnya tidak terlampau
jauh tadi, relatif mudah untuk didapatkan.
Sebagai
nelayan sekaligus pelukis, ia jelas merasa terganggu dengan aksi perusakan
laut. Otang tak senang melihat laut dikotori, sebagaimana ia tak ingin ada
sampah dalam gambarnya. Perusakan laut, dianggapnya berbanding lurus dengan
pembunuhan kreativitas.
“Saya
sangat sedih jika laut dikotori dan ditimbun. Jika laut ditimbun, itu sama saja
membunuh kreatifitas.”
0 komentar:
Post a Comment