Awal desember silam, nyaris bersamaan
dengan semarak Santa Clauss, Presiden menerbitkan peraturan bernomor 122 Tahun
2012 tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sejumlah pasal
nampak memberi penekanan mengenai “reklamasi yang baik”, setidaknya itulah
harapan di balik kebijakan tersebut. Keputusan itu, seakan memberi karpet merah
kepada pengusaha-pengusaha bermodal besar, lewat kaidah normatif yang tak sulit
dipenuhi. Walau dalam perkembangannya beresiko menyingkirkan kepentingan
publik, terutama masyarakat pesisir.
Agaknya tak berlebihan mengatakan
aktifitas reklamasi di daerah pesisir sedang menggejala di sejumlah kota besar
di Indonesia. Buktinya, pemerintah daerah di beberapa tempat getol menjanjikan
peningkatan ekonomi bagi masyarakat bila lahan baru berhasil dicetak. Ada
semacam keyakinan, reklamasi menjadi jalan yang paling riuh untuk menciptakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas.
Beberapa daerah bisa disebutkan untuk
mendukung asumsi sebelumnya, seperti: Jakarta, Tanggerang Makassar dan Manado.
Sekali lagi dengan alasan yang “beda-beda tipis”. Tangerang, misalnya, menjadi
daerah paling ambisus dalam melakukan pembangunan lewat cara ini. Sekitar 9000
hektar laut siap disulap menjadi darat demi menciptakan kota baru dengan enam
pulau yang direncanakan menjadi kawasan bisnis terpadu.
Lahirnya peraturan Presiden nomor 122tahun 2012, turut membuka peluang meneruskan aktifitas “membumikan darat” di
tempat-tempat lain. Daerah yang masih
merasa “rendah diri” seperti diberi rangsangan untuk mengikuti geliat tersebut.
Sementara daerah yang sedang merencanakan pelaksanaan aktifitas reklamasi
seakan tersenyum lebar dengan keluarnya Peraturan Presiden itu. Negara telah
memberi rambu-rambu yang harus dipenuhi agar aktifitas penimbunan bisa
dijalankan. Kaidah normatif tidak sulit untuk dipenuhi developer, kecuali mereka belum bisa membujuk masyarakat pesisir.
Malahan, dalam peraturan tersebut, negara
memberi jalan pintas bagi pihak penimbun pantai untuk memperoleh ijin lokasi. Menteri,
gubernur, walikota atau bupati wajib memberi atau menolak permohonan ijin
lokasi reklamasi paling lambat dalam waktu 20 hari kerja. Dan bila sampai pada
saat yang ditentukan tidak memberi respon, maka permohonan ijin lokasi sudah
berada di tangan pemohon. Seperti yang dituliskan di pasal 17 ayat 4, “apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
hari kerja tidak memberikan atau menolak permohonan, maka permohonan dianggap
disetujui dan wajib mengeluarkan ijin”.
Tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah
kembali memberi kemudahan untuk mendapatkan ijin pelaksanaan reklamasi. Tercatat
dalam pasal 18, ijin pelaksanaan reklamasi secara sah didapatkan bila dalam
kurun 45 hari kerja tidak ada sikap, secara tertulis, menerima atau menolak
dari Menteri, Gubernur, Walikota atau Bupati. Tentu saja ini menjadi kabar yang
cukup menggembirakan bagi penggemar reklamasi.
Namun, ada kesan tidak kompak ide antara Presiden
dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, Peraturan Presiden mengenai reklamasi
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetap menengok pada UU nomor 27 tahun 2007 yang telah dibatalkan oleh MK, pada 16 Juni 2011 silam. Salah satu alasan yang
mendasari tindakan MK adalah penilaian bahwa HP-3 merupakan praktik privatisasi
ruang publik dengan pengkaplingan wilayah pesisir untuk dijadikan private ownership dan close ownership, yang tidak sesuai
dengan konstitusi.
Dengan berlangsungnya privatisasi ruang
publik, MK mengkhawatirkan, hak-hak masyarakat adat dan tradisional semakin
terpinggirkan. Padahal, negara tidak boleh memberangus hak-hak masyarakat yang
dilindungi konstitusi, karena negara memiliki tanggung-jawab memajukkan
kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Bagian ini menjadi bagian yang menarik.
Ijin reklamasi, seperti yang diatur Presiden, adalah praktik menghidupkan
kembali apa yang sudah dibatalkan MK, karena begitu sulit mengatakan reklamasi
tidak bersifat private domain, private ownership atau close ownership. Laut yang telah disulap
menjadi darat kemudian diubah lagi menjadi lahan bisnis adalah lokasi yang
dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu, sebagai lahan investasi kapital.
Perpres mengenai reklamasi ini, secara
tidak langsung menempatkan konstitusi dalam kotak paradoks. Betapa tidak,
pembatalan HP-3 oleh MK, menggunakan UUD 45 pasal 33 ayat 3 sebagai dasarnya yang
terdiri dari rangkaian kata seperti berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara,” dengan memberi penekanan lebih pada “dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Di sisi
lain, peraturan Presiden memberi penekanan pada pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Bukan sekedar perbedaan persepsi yang
terjadi di sini. Sebagai lembaga kehakiman yang memiliki kewenangan mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, seperti diatur konstitusi, penerapan
kembali UU No 27 tahun 2007 oleh Presiden secara tidak langsung nampaknya
mengabaikan posisi MK. Presiden dengan jelasnya mengijinkan praktik-praktik
privatisasi dan memberangus hak-hak publik, khususnya masyarakat pesisir dan
nelayan tradisional.
Bahkan, penggunaan pasal 4 ayat 1 UUD 45,
dengan mengabaikan kepentingan masyarakat luas, hanya akan menempatkan Presiden
sebagai sosok diktatorial. Lewat dalil kekuasaan yang dimilikinya, presiden
bisa saja menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan umum. Namun,
sebagai negara yang mencatatkan welfare
state di konstitusinya, Presiden sebagai representasi rakyat Indonesia,
tidak bisa mengeluarkan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak
saja. Apalagi dengan menggusur hak-hak masyarakat pesisir dan nelayan
tradisional. Janji mendirikan negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Dan,
rakyat bukanlah tumbal pembangunan.
0 komentar:
Post a Comment