Tulisan di bawah ini merupakan Tajuk Utama dalam Buletin Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulawesi Utara edisi Desember 2013. Kami, setelah meninjau kondisi lapangan dan melakukan wawancara, mencoba menyodorkan analisis yang cukup sederhana agar nelayan tradisional bisa mengenal hak-hak mereka di kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken (TNB). Setidaknya, analisis dalam tulisan ini, menunjukkan bahwa ada cerita yang belum tuntas mengenai kondisi di wilayah perairan Bunaken, khususnya terkait eksistensi nelayan tradisional.
15 Oktober tahun 1991, Menteri Kehutanan mengubah status Cagar Alam
laut menjadi Taman Nasional di wilayah perairan Bunaken – yang selanjutnya
diresmikan oleh presiden Soeharto, pada 24 Desember 1992.
Diputuskan, Taman Nasional Bunaken (TNB) memiliki luasan kurang-lebih
89.065 ha, dengan lima pulau menjadi bagiannya yakni Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage dan
Nain. Kawasan ini, juga melingkupi pesisir utara semenanjung Sulawesi yang
terdiri dari Molas, Meras, Tongkaina dan Tiwoho. Kemudian, di pesisir selatan,
terdapat Arakan, Wawontulap, Poopoh sampai Popareng.
Dunia mengenal perairan TNB sebagai bagian daerah indo-pasifik yang
menjadi pusat keanekaragaman hayati laut di bumi ini. Kekayaan alam tersebut
seperti dicatatkan dalam buku berjudul Natural History Book, tahun 1999,
yang menyebut luas terumbu karang di perairan TNB mencapai 8000 ha dengan 58
genus karang di dalamnya.
Tak hanya itu, ditemukan pula berbagai hewan langka di bawah laut TNB,
seperti ikan fosil hidup (raja laut/ ikan purba), duyung, penyu, buaya, paus,
lumba-lumba dan hewan lindung lainnya. Bahkan, keanekagaragaman ikan di
perairan ini mencapai 2000 jenis.
Tahun 1997, World Wild Fund (WWF) mengusulkannya sebagai salah satu World
Heritage, dan baru pada tahun 2000 ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs
warisan dunia.
Tentu saja, potensi alam ini menempatkan TNB sebagai magnet wisatawan,
baik lokal maupun mancanegara. Data yang dilansir Bapenas pada tahun 1998
menunjukkan kontribusi TNB kepada ekonomi daerah mencapai 11, 2 juta US dolar
per tahun.
Jika dirunut lebih detil, sektor pariwisata mampu menyumbang 3,2 juta
US dolar per tahun, termasuk 4 sampai 5 milyar rupiah per tahun ke pemerintah
kota Manado. Belum lagi, sumbangan dari sektor perikanan yang mencapai 4,9 juta
US dolar, serta rumput laut sebesar 3,1 juta US dolar per tahun.
Sampai di sini, TNB merupakan “rumah” keanekaragaman hayati sekaligus
sumber pedapatan ekonomi daerah. Tiap pihak harus berpartisipasi untuk menjaga
eksistensinya. Namun, bukan hal ideal membicarakan kawasan perairan tanpa
menempatkan nelayan sebagai subjeknya – bahkan dalam pembangunan di pesisir.
Karenanya, tajuk ini, berupaya mengedepankan posisi nelayan dalam
program pembangunan di kawasan TNB, tentu dengan menampilkan hak dan kewajiban
yang harus dihormati berbagai pihak. Paling tidak, kita mesti menyepakati bahwa
tujuan pembangunan di negara ini adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Problematika Nelayan di Kawasan TNB
Kegiatan manusia yang berbasis darat dan kelautan, dinilai berakibat
pada penurunan mutu ekosistem di perairan TNB, karenanya pemerintah
mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk melindungi kekayaan bawah laut agar
perusakan karang bisa dihindarkan. Namun, nelayan merasa sejumlah peraturan
menempatkan mereka sebagai penerima dampak negatif.
Beberapa permasalahan nampak begitu kompleks, pada satu sisi,
pemerintah berupaya melestarikan ekosistem bawah laut, namun, di sisi lain, hak
nelayan tradisional semakin terpinggirkan. Sesuai pemantauan di lapangan,
nelayan menyatakan adanya indikasi penyusutan ruang produksi, tingginya
frekuensi gesekan dengan otoritas setempat hingga ancaman proses hukum akibat
aktivitas melaut.
Sebut saja larangan melintas dan aktivitas penangkapan ikan di
perairan tertentu, sebagai masalah pertama.
Di sini, pemerintah telah memetakan sejumlah titik yang boleh dan tidak boleh
menjadi lokasi lintas perahu dan menangkap ikan.
Persoalannya, secara teknis dan geografis, garis batas di laut
tidaklah memiliki bentuk utuh, katakanlah kabur. Sehingga, dalam keadaan
tertentu, nelayan kerap melintasi lokasi ‘terlarang’ dan melakukan aktivitas
penangkapan.
Tak hanya itu, faktor di luar kendali personal turut mendorong nelayan
untuk melintasi wilayah-wilayah tertentu. Misalnya, ketika cuaca buruk, mereka memiliki
pertimbangan khusus dalam mengemudikan perahu dan menyesuaikannya dengan arah
angin maupun gerak ombak.
Sayangnya, faktor-faktor tersebut sering tidak dipertimbangkan
otoritas setempat. Nelayan yang melintasi jalur terancam diproses hukum – sekalipun
upaya tersebut merupakan cara menyelamatkan diri yang paling efektif dari
terjangan ombak.
Pemicu kedua adalah klaim perusakan lingkungan oleh nelayan
tradisional. Sebagai pihak yang paling sering berinteraksi dengan laut,
pandangan-pandangan miring terus saja mendera nelayan tradisional. Mereka
dinilai masih sering menggunakan alat tangkap seperti bom dan racun sianida
yang dapat merusak ekosistem bawah laut.
Memang, pada pasal 9 poin (1), UU 45 tahun 1999, dengan jelas bisa
dicatatkan larangan “memiliki, menguasai,
membawa atau menggunakan alat tangkap dan alat bantu penangkapan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan
di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia.”
Tak boleh disangkal. Tiap pihak, khususnya pemanfaat perairan TNB,
wajib menjaga kelestarian alam di dalamnya. Seperti yang sudah dijelaskan,
kekayaan alam di perairan ini merupakan aset penting bagi peningkatan ekonomi
nasional, terlebih menjadi pusat keanekaragaman hayati dunia.
Di sini, pemerintah punya kewajiban membina pihak-pihak yang
kedapatan, secara sengaja atau tidak, menggunakan alat tangkap yang dilarang
tadi. Artinya, pemerintah harus mampu menjamin hak nelayan tradisional dalam
mengakses perairan selama menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Sebab, sejumlah persoalan tadi ditakutkan dapat memunculkan akumulasi
dampak yang merugikan nelayan tradisional, seperti terus menurunnya kondisi
ekonomi, pandangan negatif dari stakeholder di kawasan TNB, tingginya frekuensi
permasalahan hukum antara nelayan dengan otoritas setempat, hingga semakin
berkurangnya kesadaran nelayan untuk melindungi dan memperbaiki kualitas
sumberdaya alam.
Membiarkan permasalahan berkepanjangan, merupakan faktor potensial
dalam menimbulkan konflik vertikal, baik antara nelayan dengan pemerintah atau
nelayan dengan pelaku pariwisata.
Mengupas Kembali Hak Nelayan Tradisional
Pasal 33 ayat
(3) UUD 45, yang berbunyi“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,”menegaskan
adanya penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang berada di wilayah
kekuasaannya.
Sementara,
anak kalimat “dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat” menunjukkan sebesar-besar kemakmuran
rakyatlah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan,
pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya.
Penguasaan
itu, harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun
hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat
adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan
dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan
yang sehat, dan lain-lain.
Sebab, tanpa
mengedepankan kepentingan rakyat, penguasaan negara terhadap sumber daya alam
dapat menunju pada kekuasaan absolut-totalitarian. Dengan kata lain, penolakan
terhadap privatisasi oleh korporasi (kelompok) dapat beralih kepada privatisasi
oleh negara.
Mengerucut
pada problematika nelayan belakangan ini, nampaknya pemerintah mesti melibatkan
mereka dalam pembuatan maupun pengawasan kebijakan yang berhubungan dengan
sumber daya kelautan. Penegasan mengenai hal ini dengan jelas diatur dalam UU
pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 12 ayat (1 C) menjamin “terakomodasikannya
pertimbangan-pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan
pengelolaan kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan”.
Belum lagi,
dibatalkannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) oleh Mahkamah Konstitusi,
secara implisit meletakkan hak nelayan tradisional sebagai hak turun-temurun
yang wajib dihormati penyelenggara negara.
Adapun, hak
nelayan yang dijabarkan MK meliputi, hak untuk melintas (akses), hak untuk
mengelola sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang
diyakini dan dijalankan secara turun-temurun, hak untuk memanfaatkan sumber
daya, termasuk hak untuk mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih.
Sampai di sini, berbagai
pihak di kawasan TNB, diharap mampu mengedepankan kembali posisi nelayan
tradisional sebagai pihak yang aktif berpartisipasi dalam pembangunan negeri.
Tentu saja, hal ini berimplikasi pada program-program pembangunan di wilayah
perairan dan pesisir yang tidak menyudutkan posisi nelayan. Sebab, apapun
alasannya, klaim sukses pembangunan tidak boleh menindas hak-hak nelayan
tradisional.
Notes: Buletin ANTRA Desember 2013 (pdf) bisa di unggah disini.
Notes: Buletin ANTRA Desember 2013 (pdf) bisa di unggah disini.
0 komentar:
Post a Comment