Ada Reklamasi Pantai Di Balik Seng
Eskavator seperti mengamuk ketika melemparkan bebatuan raksasa ke laut. Dentuman demi dentuman berhasil meredam suara ombak. Aktivitas reklamasi pantai, di Sario Tumpaan, kembali berjalan. Seminggu belakangan (20-29 Januari 2013), perahu nelayan harus menyaksikan aktivitas itu untuk kesekian kalinya. Dengan sekali lompat, batu-batu raksasa bisa saja menyentuh badan perahu. Uniknya, tak ada satu pun perahu meninggalkan parkirnya.
Sayang, tak banyak pengguna jalan Piere Tendean menyaksikannya. Barisan seng menjadi batas penghalang mata untuk memandang aktivitas mengerikan itu. Reklamasi pantai, yang tersembunyi di balik seng, dipandang sebagai batas antara publik dengan penimbun.
Hak untuk menikmati keindahan alam, kini menjadi lahan privat sekelompok “orang berduit” untuk melancarkan program-program ambisiusnya. Tentu saja dengan klaim bahwa pembangunan kota dilakukan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas
.
.
Tak berhenti sampai di situ. Publik juga kehilangan kesempatan untuk mengawasi proses penimbunan. Gerak batu yang digelindingkan eskavator berkompetensi meluncur tanpa protes publik, meski pun berada di luar prosedur.
Meski status kepemilikan laut masih terus diperdebatkan namun arogansi penimbun pantai bisa disaksikan lewat jajaran seng yang “memantati” laut. Hal ini, yang oleh Rignolda Djamaluddin, ketua Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (Antra Sulut), dipandang begitu memprihatinkan. Klaim atas hak milik laut dinilainya sebagai lelucon, karena Undang-Undang Dasar telah mengatur mengenai permasalahan itu.
“Sudah jelas disebutkan dalam konstitusi, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi, apa yang kita lihat sekarang, penimbun seenaknya menghalangi publik untuk menikmati keindahan laut,” sesalnya.
Selain itu, kritik mengenai aktivitas reklamasi pantai, diarahkan juga pada janji yang tinggal janji. Sekitar tahun 1995 silam, ketika reklamasi pantai masih dibungkus harapan, pemerintah dan penimbun pernah berjanji bahwa reklamasi pantai tak akan memberangus hak-hak publik.
Namun, dalam perkembangannya, sejumlah janji tak kunjung terealisasi. Misalnya saja, kendaraan bermotor yang ingin melintasi jalur pantai, harus merogoh kocek beberapa ribu. Sebagai lahan yang bukan lagi miliknya, pengguna jalan harus membayar jasa pada pemilik lahan.
Memang terlihat sederhana. Namun, jika ditelusuri lebih dalam lagi, reklamasi pantai jelas merampas fasilitas publik. Investor, yang telah merampas lahan, masih berhak menagih retribusi pada pengguna jalan.
Kini, aktivitas penimbunan yang masih diperdebatkan legalitasnya, mesti mendapat respon masyarakat luas. Sisa pantai, yang belakangan dimanfaatkan berbagai pihak, baik untuk fotografi, berenang maupun sekedar menikmati sun set, tak bisa ditutup sewenang-wenang.
Masyarakat wajib merasa terusik akan permasalahan ini. Perampasan hak tak boleh lagi terjadi. Penghalang kebebasan untuk menikmati pesona alam, sesegera mungkin harus dirobohkan. Sehingga keindahan potensi pantai bukan lagi milik sedikit orang, namun digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
***
Setelah sempat diberhentikan oleh pemerintah kota Manado, aktivitas reklamasi pantai kembali berlangsung di daerah Sario Tumpaan. Dengan geram nelayan Sario Tumpaan, melalui Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (Antra Sulut), mempertanyakan legalitas penimbunan kali ini.
Nelayan menduga, penimbunan pantai kali ini, merupakan ajang pamer kekuatan yang dilakukan investor. Di sisi lain, mereka mempertanyakan posisi pemerintah kota, sebagai representasi pemerintah pusat, dalam mengawal pembangunan daerah.
Sayangnya, jika penimbunan kali ini berjalan di luar pengetahuan pemerintah kota, maka secara bersamaan terlihat kekuatan investor dalam mempengaruhi kebijakan pembangunan. Namun, keadaan tersebut bisa menggiring pendapat masyarakat luas, terutama nelayan, pada ketidakmampuan pemerintah kota dalam membina “kebandelan” penggelinding batu.
Hadangan “seng” nampaknya juga menghalangi pandangan pemerintah daerah dalam mengawasi reklamasi pantai. Hal ini menjadi salah satu alasan resah bagi nelayan Sario Tumpaan.
Seperti diucapkan Rignolda Djamaluddin, penimbun seakan berkuasa atas laut dan besar kemungkinan melanggar peraturan. Menurutnya, tanpa pengawalan pemerintahan daerah, reklamasi pantai sangat mungkin melangkah di luar prosedur dan kelayakan.
“Reklamasi pantai selalu spesial. Sejak tahun 2009, telah terjadi penggusuran nelayan serta lingkungan pantai terganggu oleh bebatuan. Seolah-olah penimbun berkuasa atas laut, meski telah melanggar ketentuan dalam dokumen lingkungan. Dari sini, kami mempertanyakan pengawasan pemerintah,” gugatnya.
Di sisi lain, berlangsungnya reklamasi pantai untuk kesekian kalinya, menunjukkan posisi pemerintah daerah begitu lemah di mata penimbun. Mengingat, beberapa bulan lalu, telah ada instruksi pemberhentian secara langsung dari pemerintah kota mengenai reklamasi pantai di Sario Tumpaan.
Namun, yang terjadi di lapangan, aktivitas penimbunan kembali berproses dengan atau tanpa pengawasan dan pertimbangan pemerintah kota. Hal ini menimbulkan penilaian bahwa investor memiliki kekuatan melebihi pemerintah kota.
Kasus ini diyakini sebagai ajang pertaruhan bagi pemerintah kota maupun provinsi. “Sejarah akan mencatatnya. Mengijinkan atau menghentikan proses penimbunan adalah jalan yang harus dipilih secara bijak,” ungkap Rignolda dengan begitu yakin.
Pemerintah dan masyarakat tidak boleh membiarkan laut dikelola secara serampangan. Karena dengan jelas konstitusi telah mengatur mengenai tata kelola dan pemanfaatan lingkungan. Segala peraturan yang dibuat, seharusnya tak boleh melangkahi ketetapan negara, dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945.
Kenyataan tersebut semakin membuat nelayan Sario Tumpaan semakin gerah. Apalagi, selama ini publik kenyang dijejali klaim bahwa reklamasi pantai meningkatkan pendapatan ekonomi daerah. Dan, nelayan menyatakan, klaim tersebut tak boleh ditelan mentah-mentah. Sebab, selain mengancam eksistensi profesi kenelayanan, reklamasi pantai dalam perkembangnya cuma menguntungkan segelintir pihak.
“Peredaran uang hanya mengalir ke beberapa orang saja, dan menghasilkan ketimpangan ekonomi yang begitu jauh,” jelas Rignolda.
Tak seperti ribut suara eskavator, partisipasi masyarakat sekitar seakan dibungkam, dan penimbun melakukan aksinya tanpa suara. Nelayan Sario Tumpaan mulai pasang badan. Sedikit saja batu lewat kesepakatan, maka tindakan-tindakan perlawanan telah dipersiapkan untuk mempertahankan hak hidup. Dengan atau tanpa bantuan pemerintah daerah.
Meski pun pemerintah kota kembali memerintahkan pemberhentian aktivitas reklamasi pantai, Rabu (30/1/2012), namun seruan untuk menyatakannya secara tertulis tak juga surut. Instruksi pemberhentian reklamasi pantai secara lisan dinilai kosong, tanpa bukti yang bisa dijadikan pegangan, bagi nelayan dan masyarakat umum.
“Saatnya pemerintah memberi putusan mengenai pemberhentian reklamasi pantai. Sudah cukup reklamasi pantai merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian bagi publik. Pemerintah harus segera bertindak,” desaknya.
Nelayan Sario Tumpaan turut mengajak masyarakat luas untuk tidak tergiring pada dominasi informasi, yang cenderung menceritakan keberhasilan reklamasi pantai. Karena, pada kenyataannya, sejumlah resiko kerugian reklamasi pantai terlalu sedikit disinggung dalam proses pembangunan dewasa ini.
0 komentar:
Post a Comment